Thursday, February 6, 2014

INDERA PENCIUMAN (HIDUNG) ELEKTRONIK


Pencium atau indra untuk menangkap bau adalah indra yang dimiliki manusia, karena itu agak janggal bila ada indra pencium elektronik. Namun, indra pencium elektronik itu bagi dosen teknik elektro ITS Dr. Muhammad Rivai ST. MT. bukanlah hal yang mustahil.

Bahkan, dia telah menciptakan "Electronic Nose" yang menirukan indra pencium manusia dan mampu menggantikan fungsi pencium manusia. Alat ciptaannya itu mampu dalam mengenali, mengidentifikasi, dan menganalisa aroma tertentu dengan memanfaatkan pola-pola algoritma "neural network."

"Ide dari inovasi yang penting bagi dunia kedokteran dan kesehatan itu berawal dari iklan rokok yang menayangkan bagaimana seseorang bisa mengenali kualitas tembakau hanya dengan menciumnya," kata Rivai.

Setelah menonton iklan tersebut, ia mengaku tiba-tiba muncul pertanyaan iseng dalam benaknya. "Bagaimana nantinya kalau mereka (yang bertugas mencium bau) itu jatuh sakit atau tidak mood? Apakah analisa penciumnya tetap bisa diandalkan?," katanya, dalam benaknya.

Dari pertanyaan iseng itulah, Rivai menuai ide untuk membuat "electronic nose" dengan konsep yang diajukan adalah alat pencium elektronik yang mampu menghasilkan analisa akurat tanpa terpengaruh oleh faktor yang mungkin diderita oleh indra pencium manusia. "Jadi, tak heran bila alat itu nantinya diharapkan mampu menggantikan fungsi hidung dalam berbagai kebutuhan industri dan analisa kesehatan," katanya.

Prinsip kerja dari "electronic nose" adalah menirukan fungsi hidung manusia yang di dalamnya ada berbagai reseptor pengidentifikasi aroma. "Reseptor-reseptor itu fungsinya digantikan oleh sensor pada electronic nose," kata dosen yang juga Kepala Laboratorium (Lab) Elektronika Industri itu. Ia menuturkan tiap reseptor yang ada akan memberikan respon yang berbeda dari uap aroma yang sama.

Sebagai pengembangan awal, sensor "electronic nose" memiliki kemampuan mengidentifikasi 16 jenis aroma, di antaranya aroma apel, melati, dan peppermint. "Layaknya seorang bayi ketika dari awal sudah dilatih mampu membedakan beberapa aroma, maka seperti itulah cara kerjanya," katanya.

Menurut dia, proses pengenalan aroma dari "electronic nose" itu dilakukan dengan bantuan software (perangkat lunak). "Tak hanya itu, alat itu bahkan bisa mengenali kualitas dari bahan bersangkutan, misalnya apel yang busuk dan baik," ujarnya.

Ke depan, Rivai berencana mengembangkan lagi kemampuan mengidentifikasi "electronic nose" itu menjadi 30 lebih aroma dengan tingkat akurasi yang semakin tinggi.

Alur kerja

Tentang alur kerja "electronic nose" itu, Rivai yang berkacamata itu menerangkan proses diawali dengan memasukkan uap aroma ke ruang sensor, lalu uap tersebut akan diekstraksi menjadi komponen penyusun uap.

"Tiap komponen itu selanjutnya diukur intensitas dan konsentrasinya oleh sensor Quartz Crystal Microbalance (QCM)," katanya. Ia memperoleh semua komponen itu dari produk dalam negeri, kecuali perangkat FPGA (Field Programmable Analog Array atau semikonduktor elektronik yang memiliki gerbang terprogram) yang dipesan dari luar negeri.

Guna menangkap uap aroma, alumnus Teknik Elektro ITS angkatan 1987 itu memodifikasi osilator dan memberikan tambahan lapisan zat kimia. "Misalkan pada sensor itu, saya melapisinya dengan polyethylene glycol. Tiap sensor dilapisi dengan zat kimia yang berbeda," katanya.

Harga bahan kimia yang digunakan pun sangat terjangkau. "Hanya dua ribuan. Sebotol zat kimia dapat dipakai untuk ribuan sensor," ucapnya. Saat ini, "electronic nose" hanya dilengkapi dengan delapan sensor. "Tapi, saya sudah membuatkan tambahan sensor hingga 32 sensor. Jadi, kemampuan mengidentifikasi alat ini makin bertambah," katanya.

Peraih riset Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) itu menyatakan pengembangan lebih lanjut dari "electronic nose" akan memberikan banyak kegunaan. "Electronic nose dapat dikembangkan hingga ke level mampu menganalisa aroma urine yang berarti juga bisa mengidentifikasi ginjal sehat atau bakteri di saluran kencing," katanya.

Selain itu, "electronic nose" juga bisa diupayakan untuk mampu menganalisa aroma pernapasan seseorang. "Penelitian itu rencananya dikerjakan oleh beberapa mahasiswa S3 Teknik Elektro. Tujuannya untuk membantu mendiagnosa penyakit TBC yang diderita seseorang," katanya.

Secara garis besar, dia mengatakan alat yang mulai dirintisnya sejak 1995 itu sangatlah aplikatif. "Alat itu bisa dipakai untuk kebutuhan industri rokok, makanan, dan minuman hingga dunia kesehatan," katanya. Apalagi, katanya, biaya pembuatan alat itu hanya membutuhkan biaya kurang dari Rp10 juta untuk menciptakan electronic nose. "Bandingkan dengan alat sensor semikonduktor buatan beberapa negara maju, bisa mencapai miliaran rupiah," katanya.
Ia berharap alat ciptaannya itu dapat segera dipatenkan dan diproduksi secara massal, bahkan perangkat FPGA yang ada dalam "install" dari electronic nose itu dapat dijadikan chip.

"Dengan begitu, electronic nose akan berbentuk sangat kecil dan dapat dibawa ke mana-mana. Tentunya dengan tercapainya harapan itu, maka alat itu semakin bermanfaat untuk kehidupan manusia," ujarnya.

No comments:

Post a Comment